Home » » Posisi Masyarakat Sipil di Tengah Otoda: Menggugat Dominasi Negara dan Pasar

Posisi Masyarakat Sipil di Tengah Otoda: Menggugat Dominasi Negara dan Pasar

Written By Unknown on Senin, 30 Desember 2013 | 01.48

Posisi Masyarakat Sipil di Tengah Otoda: Menggugat Dominasi Negara dan Pasar

Oleh:
Sukma Hari Purwoko[1]

Terbentuknya masyarakat sipil merupakan cita-cita tertinggi dari upaya peningkatan partisipasi publik, khususnya dalam pengelolaan kehidupan bernegara. Hidup bernegara dapat dimaknai sebagai usaha masyarakat untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Dalam kacamata ilmu administrasi publik, konsep good governance dipakai untuk menggambarkan pola kehidupan bernegara yang ideal.
Good governance merupakan suatu konsep yang dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik dan administrasi publik[2]. Selaras dengan terminologi demokrasi, partisipasi rakyat dan hak asasi manusia, maka masyarakat sipil merupakan komponen yang mutlak hadir dalam pengelolaan pemerintahan. Dalam pengelolaan pemerintahan, kehadiran masyarakat sipil ditujukan guna menjaga stabilitas pemerintahan dengan memberikan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Masyarakat sipil, dalam konteks Indonesia, mulai diakui keberadannya semenjak dicanangkannya otonomi daerah, ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. 

Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil diartikan sebagai gugus yang terletak di antara individu dan Negara[3]. Independensi merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat sipil. Masyarakat sipil merupakan kelompok yang memiliki idealisme politik, terutama dalam posisinya sebagai penjaga keseimbangan dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, masyarakat sipil merupakan lembaga yang ingin menduduki supremasi sipil dalam tata kenegaraan[4]. Das-Sollen, demikian kondisi masyarakat sipil yang substantif (Substantivy Civil Society).
Bentuk partisipasi dari masyarakat sipil dapat kita lihat melalui manifestasi gerakannya yang terorganisir. Tentunya sebagai organisasi. Gerakan masyarakat sipil menjadi penyempurna dari penyelenggaraan otonomi daerah. Dengan tetap fokus pada the process of political interaction, maka democratic value dan kemandirian (empowering) daerah dan masyarakat sebagai esensi dari kehadiran masyarakat sipil merupakan ikhtiar menuju praktik otonomi daerah yang ideal[5].

Menggugat Dominasi Negara Dan Pasar Dalam Pengelolaan Pemerintahan
Mengelola pemerintahan berarti mengeloa resources. Dalam hal ini, Negara atau pemerintah memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan kebijakan yang mengikat. Komponen lain dalam good governance, pasar dan masyarakat sipil, sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan. Dengan sumber power yang dimiliki masing-masing, pasar dan masyarakat sipil hanya dapat memberikan andil berupa upaya negoisasi terhadap proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pmerintah. Jadi, kekuasaan dalam penentuan pengambilan kebijakan hanya dimiliki oleh pemerintah atau Negara/State dengan landasan bahwa kebijakan lahir dari dan oleh kekuasaan[6].
Jika digambarkan, 3 komponen good governance dalam pengelolaan pemerintahan sebagai berikut:
            Dari ketiga komponen good governance, pasar memiliki daya tawar untuk melakukan bargaining posisi dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah. Daya tawar pasar dalam hal ini berupa kemampuan pasar (Pemilik Modal) dalam mengelola resources atas dasar prinsip efisiensi dan efektifitas. Kedua prinsip tersebut menunjukkan bahwa pasar memiliki kapabilitas lebih untuk mengelola resource yang tidak mampu dikelola secara maksimal oleh Negara karena rendahnya SDM.
            Secara teoritis, market mechanism mulai diperkenalkan sejak adanya pergeseran pertama paradigma ilmu administrasi publik yang berkembang di Amerika (Paradigma Ilmu Administrasi Publik ke-2) dimana mekanisme dari prinsip pasar telah menjadi sharing-partner Negara untuk mengelola barang publik. Pemangkasan birokrasi melalui mekanisme pasar dianggap sebagai cara terbaik memaksimalisasi pendayagunaan seluruh sumber daya kebutuhan publik. Idealnya, kolaborasi antara state dan market dapat mempermudah sekaligus meningkatkan kualitas barang publik yang akan dinikmati oleh masyarakat. Negara melalui birokrasi, dengan penerapan distribution power, dapat menjangkau sebagian besar urusan publik. Sementara pasar melalui prinsip efisiensi dan efektivitas serta keterampilan SDM yang dimiliki, dapat menangani urusan publik secara optimal. Namun, konsepsi kolaborasi tersebut menjadi berbeda di ranah praksis.
            Di ranah praksis, kolaborasi Negara dan pasar justru mengancam cita-cita good governance. Kolaborasi keduanya berbalik arah dengan menciptakan ruang-ruang kompromi-politik melalui instrumen kekuasaan yang berada dibawah kendali negara. Ilmuwan administrasi public menyebutnya dengan istilah “perselingkuhan antara Negara dan pasar”. Tentu, kompromi keduanya akan membentuk oligarki di tataran elite, sehingga warga Negara menjadi mangsa tanpa dapat melakukan perlawanan apapun. Atas dasar itu, unsure etika publik di dalam pengendalian kekuasaan mulai disandingkan sebagai pembahasan yang tidak kalah penting dalam ilmu administrasi publik. Sebagai contoh kasus penambangan pasir di daerah Paseban, Kencong, Kabupaten Jember. 3 unsur good governance memainkan perannya masing-masing. Kecenderungan terjadinya kompromi elite (Negara dan Pasar) mutlak tidak dapat dihindari. Seperti keterangan yang disampaikan oleh H. Miftahul Ulum S.Ag, M.Si[7] bahwa pihak parlemen pemerintah (Baca:State) diajak untuk melakukan kompromi oleh pihak pengusaha (Baca:Pasar) melalui negoisasi bagi laba[8].
[1] Mahasiswa Administrasi Negara, FISIP, Univ.Jember. Kader HMI Cab.Jember Komisariat FISIPOL.

[2] Thoha, Miftah, Birokrasi Politik di Indonesia, (2011), PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta.

[3] Asford, Nigel, Prinsip-Prinsip Masyarakat Merdeka, (2011), FREEDOM INSTITUTE, Jakarta.

[4] Thoha, Miftah, Birokrasi Politik di Indonesia, (2011), PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta. P.195

[5] Utomo, Warsito, Administrasi Publik Baru Indonesia (Perubahan Paradigma Administrasi Negara ke Administrasi Publik), (2006), PUSTAKA BELAJAR, Yogyakarta.

[6] Disampikan dalam Kuliah Umum Sri Mulyani dengan tema “Kebijakan Publik dan Etika Publik” P2D (Perhimpunan Pendidikan Demokrasi) pada tahun 2010.

[7] Wakil Ketua DPRD Kab. Jember periode 2010-2014

[8] Disampaikan dalam “Politics Camp” dengan tema Mengkaji Perkembangan Ilmu Politik: Demokrasi Di Era Globalisasi yang diselenggarakan oleh Societies (Lembaga Riset Ilmu Hubungan Internasional) 5 November 2013 di Ball Room Ebizz Hotel.
Share this article :

0 komentar :

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !


 
Support : Ensiklopediakku | CeritaJember
Copyright © 2013. Cerita Jember - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by CeritaJember
Proudly powered by Ensiklopediakku