Oleh:
Sukma Hari Purwoko[1]
Sukma Hari Purwoko[1]
Terbentuknya
masyarakat sipil merupakan cita-cita tertinggi dari upaya peningkatan
partisipasi publik, khususnya dalam pengelolaan kehidupan bernegara.
Hidup bernegara dapat dimaknai sebagai usaha masyarakat untuk memenuhi
seluruh kebutuhan hidupnya. Dalam kacamata ilmu administrasi publik,
konsep good governance dipakai untuk menggambarkan pola kehidupan bernegara yang ideal.
Good governance merupakan
suatu konsep yang dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik dan
administrasi publik[2]. Selaras dengan terminologi demokrasi,
partisipasi rakyat dan hak asasi manusia, maka masyarakat sipil
merupakan komponen yang mutlak hadir dalam pengelolaan pemerintahan.
Dalam pengelolaan pemerintahan, kehadiran masyarakat sipil ditujukan
guna menjaga stabilitas pemerintahan dengan memberikan kontrol terhadap
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Masyarakat sipil,
dalam konteks Indonesia, mulai diakui keberadannya semenjak
dicanangkannya otonomi daerah, ditandai dengan diterbitkannya
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Masyarakat Sipil
Masyarakat
sipil diartikan sebagai gugus yang terletak di antara individu dan
Negara[3]. Independensi merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat sipil. Masyarakat sipil merupakan kelompok yang memiliki
idealisme politik, terutama dalam posisinya sebagai penjaga keseimbangan
dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, masyarakat sipil merupakan
lembaga yang ingin menduduki supremasi sipil dalam tata kenegaraan[4]. Das-Sollen, demikian kondisi masyarakat sipil yang substantif (Substantivy Civil Society).
Bentuk
partisipasi dari masyarakat sipil dapat kita lihat melalui manifestasi
gerakannya yang terorganisir. Tentunya sebagai organisasi. Gerakan
masyarakat sipil menjadi penyempurna dari penyelenggaraan otonomi
daerah. Dengan tetap fokus pada the process of political interaction, maka democratic value dan kemandirian (empowering)
daerah dan masyarakat sebagai esensi dari kehadiran masyarakat sipil
merupakan ikhtiar menuju praktik otonomi daerah yang ideal[5].
Menggugat Dominasi Negara Dan Pasar Dalam Pengelolaan Pemerintahan
Mengelola pemerintahan berarti mengeloa resources. Dalam hal ini, Negara atau pemerintah memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan kebijakan yang mengikat. Komponen lain dalam good governance, pasar
dan masyarakat sipil, sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk
menentukan kebijakan. Dengan sumber power yang dimiliki masing-masing,
pasar dan masyarakat sipil hanya dapat memberikan andil berupa upaya
negoisasi terhadap proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh
pmerintah. Jadi, kekuasaan dalam penentuan pengambilan kebijakan hanya
dimiliki oleh pemerintah atau Negara/State dengan landasan bahwa
kebijakan lahir dari dan oleh kekuasaan[6].
Jika digambarkan, 3 komponen good governance dalam pengelolaan pemerintahan sebagai berikut:
Dari ketiga komponen good governance, pasar memiliki daya tawar untuk melakukan bargaining
posisi dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah. Daya tawar pasar
dalam hal ini berupa kemampuan pasar (Pemilik Modal) dalam mengelola resources atas
dasar prinsip efisiensi dan efektifitas. Kedua prinsip tersebut
menunjukkan bahwa pasar memiliki kapabilitas lebih untuk mengelola resource yang tidak mampu dikelola secara maksimal oleh Negara karena rendahnya SDM.
Secara teoritis, market mechanism mulai
diperkenalkan sejak adanya pergeseran pertama paradigma ilmu
administrasi publik yang berkembang di Amerika (Paradigma Ilmu
Administrasi Publik ke-2) dimana mekanisme dari prinsip pasar telah
menjadi sharing-partner Negara untuk mengelola barang publik.
Pemangkasan birokrasi melalui mekanisme pasar dianggap sebagai cara
terbaik memaksimalisasi pendayagunaan seluruh sumber daya kebutuhan
publik. Idealnya, kolaborasi antara state dan market dapat
mempermudah sekaligus meningkatkan kualitas barang publik yang akan
dinikmati oleh masyarakat. Negara melalui birokrasi, dengan penerapan distribution power,
dapat menjangkau sebagian besar urusan publik. Sementara pasar melalui
prinsip efisiensi dan efektivitas serta keterampilan SDM yang dimiliki,
dapat menangani urusan publik secara optimal. Namun, konsepsi kolaborasi
tersebut menjadi berbeda di ranah praksis.
Di ranah praksis, kolaborasi Negara dan pasar justru mengancam cita-cita good governance. Kolaborasi
keduanya berbalik arah dengan menciptakan ruang-ruang kompromi-politik
melalui instrumen kekuasaan yang berada dibawah kendali negara. Ilmuwan
administrasi public menyebutnya dengan istilah “perselingkuhan antara
Negara dan pasar”. Tentu, kompromi keduanya akan membentuk oligarki di
tataran elite, sehingga warga Negara menjadi mangsa tanpa dapat
melakukan perlawanan apapun. Atas dasar itu, unsure etika publik di
dalam pengendalian kekuasaan mulai disandingkan sebagai pembahasan yang
tidak kalah penting dalam ilmu administrasi publik. Sebagai contoh kasus
penambangan pasir di daerah Paseban, Kencong, Kabupaten Jember. 3 unsur
good governance memainkan perannya masing-masing.
Kecenderungan terjadinya kompromi elite (Negara dan Pasar) mutlak tidak
dapat dihindari. Seperti keterangan yang disampaikan oleh H. Miftahul
Ulum S.Ag, M.Si[7] bahwa pihak parlemen pemerintah (Baca:State) diajak
untuk melakukan kompromi oleh pihak pengusaha (Baca:Pasar) melalui
negoisasi bagi laba[8].
[1] Mahasiswa Administrasi Negara, FISIP, Univ.Jember. Kader HMI Cab.Jember Komisariat FISIPOL.
[2] Thoha, Miftah, Birokrasi Politik di Indonesia, (2011), PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta.
[3] Asford, Nigel, Prinsip-Prinsip Masyarakat Merdeka, (2011), FREEDOM INSTITUTE, Jakarta.
[4] Thoha, Miftah, Birokrasi Politik di Indonesia, (2011), PT RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta. P.195
[5]
Utomo, Warsito, Administrasi Publik Baru Indonesia (Perubahan Paradigma
Administrasi Negara ke Administrasi Publik), (2006), PUSTAKA BELAJAR,
Yogyakarta.
[6] Disampikan dalam Kuliah Umum Sri Mulyani
dengan tema “Kebijakan Publik dan Etika Publik” P2D (Perhimpunan
Pendidikan Demokrasi) pada tahun 2010.
[7] Wakil Ketua DPRD Kab. Jember periode 2010-2014
[8]
Disampaikan dalam “Politics Camp” dengan tema Mengkaji Perkembangan
Ilmu Politik: Demokrasi Di Era Globalisasi yang diselenggarakan oleh
Societies (Lembaga Riset Ilmu Hubungan Internasional) 5 November 2013 di
Ball Room Ebizz Hotel.